Pendekatan dalam Pembelajaran Bagi Peserta Didik Autis di SLB Autisma YPPA Bukittinggi
Oleh Putri Alvyenti, S.Pd.
Setiap peserta didik autis memiliki cara unik dalam memahami dunia, sehingga pembelajaran untuk mereka tidak bisa disamakan dengan peserta didik pada umumnya. Mereka membutuhkan pendekatan yang sesuai dengan bagaimana mereka memproses informasi, berinteraksi, dan merespons lingkungan. Karena itu, berbagai pendekatan pendidikan khusus dikembangkan agar pembelajaran menjadi lebih efektif, nyaman, dan bermakna bagi mereka.
Salah satu pendekatan yang paling sering digunakan adalah pendekatan visual. Banyak peserta didik autis cenderung belajar lebih cepat melalui gambar dibandingkan instruksi verbal. Karakteristik ini membuat jadwal visual, kartu aktivitas, serta gambar urutan langkah menjadi alat bantu yang sangat efektif. Visual membantu peserta didik memahami apa yang akan mereka lakukan, kapan harus berhenti, atau kemana harus pergi. Selain itu, alat bantu visual memberi ketenangan karena mengurangi ketidakpastian sesuatu yang sering memicu kecemasan pada peserta didik autis.
Selain visual, peserta didik autis juga membutuhkan pendekatan yang konkret. Mereka kerap kesulitan memahami konsep abstrak seperti “besok”, “nanti”, atau “alasan di balik sesuatu”. Karena itu, pembelajaran yang melibatkan benda nyata atau pengalaman langsung jauh lebih mudah mereka cerna. Misalnya, mengenalkan konsep hari dengan mengaitkannya pada rutinitas yang mereka lakukan setiap hari, seperti “Hari Senin berarti kita mulai sekolah”, atau “Hari Jumat berarti ada kegiatan merapikan kelas”. Pembelajaran konkret membuat peserta didik menghubungkan pelajaran dengan pengalaman nyata, sehingga maknanya lebih mudah dipahami.
Pendekatan lain yang sangat dibutuhkan adalah rutinitas dan konsistensi. Peserta didik autis umumnya memiliki kebutuhan besar terhadap struktur dan pola. Lingkungan yang berubah-ubah atau instruksi yang tiba-tiba dapat membuat mereka tidak nyaman, bahkan menimbulkan tantrum. Dengan rutinitas yang jelas dan konsisten, peserta didik lebih mudah memprediksi alur kegiatan dan merasa aman. Namun, rutinitas ini harus dikendalikan agar tetap fungsional. Ada rutinitas yang baik, seperti rutinitas masuk kelas atau merapikan meja sebelum pulang. Tapi ada pula rutinitas yang tidak baik, misalnya peserta didik harus mencoret buku terlebih dahulu sebelum mulai menulis, atau harus memegang benda tertentu sebelum bisa bekerja. Rutinitas yang tidak fungsional seperti ini perlu diubah karena memperkuat kekakuan dan menghambat proses belajar.
Bagi peserta didik yang mengalami kesulitan dalam perilaku atau mengikuti arahan, pendekatan ABA (Applied Behavior Analysis) menjadi salah satu metode yang efektif. ABA bekerja dengan cara memecah keterampilan ke dalam langkah-langkah kecil yang mudah dipahami. Metode ini sangat sesuai dengan karakteristik peserta didik autis yang membutuhkan struktur jelas dan penguatan positif. Ketika peserta didik menunjukkan perilaku baik atau berhasil menyelesaikan tugas, mereka mendapatkan pujian, stiker, atau reward tertentu. Lama-kelamaan, perilaku positif ini semakin kuat karena peserta didik memahami bahwa ada hubungan antara tindakan dan hasil.
Di bidang komunikasi, banyak peserta didik autis mengalami keterlambatan atau kesulitan dalam mengekspresikan kebutuhan. Untuk itu, pendekatan seperti PECS (Picture Exchange Communication System) menjadi pilihan yang sangat membantu. Dengan PECS, peserta didik menggunakan gambar untuk meminta sesuatu atau menyampaikan keinginannya. Metode ini selaras dengan karakteristik peserta didik autis yang lebih responsif terhadap visual dibandingkan instruksi verbal. Saat mereka memiliki cara untuk berkomunikasi, frustrasi berkurang dan tantrum pun dapat dihindari.
Tidak sedikit peserta didik autis yang memiliki tantangan pada pemrosesan sensori,ada yang sensitif terhadap suara, ada yang tidak nyaman disentuh, ada pula yang selalu mencari gerakan. Karena itu, pendekatan sensori atau Sensory Integration menjadi bagian penting dalam pembelajaran. Kegiatan seperti bermain pasir kinetik, menggunakan ayunan terapetik, atau melakukan aktivitas pernapasan membantu peserta didik menyeimbangkan respons sensoriknya. Ketika kebutuhan sensori terpenuhi, peserta didik biasanya lebih fokus, tenang, dan siap belajar.
Selain itu, peserta didik autis juga membutuhkan dukungan dalam membangun keterampilan sosial. Banyak dari mereka mengalami kesulitan dalam memahami ekspresi wajah, menunggu giliran, atau berinteraksi dengan teman. Pendekatan pembelajaran sosial digunakan untuk melatih kemampuan-kemampuan tersebut. Melalui permainan peran, aktivitas berkelompok, atau permainan sederhana yang melibatkan giliran, peserta didik belajar berinteraksi secara bertahap. Pendekatan ini dirancang sesuai karakteristik peserta didik autis yang sering kali membutuhkan latihan sosial yang terstruktur dan terarah.
Semua pendekatan ini sesungguhnya saling melengkapi. Tidak ada satu pendekatan yang paling benar untuk semua peserta didik, karena setiap peserta didik autis memiliki karakteristik yang berbeda. Yang terpenting adalah memahami kebutuhan unik mereka, lalu memilih metode yang paling sesuai. Melalui kombinasi pendekatan visual, konkret, rutinitas, ABA, komunikasi, sensori, dan sosial, proses pembelajaran dapat menjadi jauh lebih efektif dan ramah bagi peserta didik autis.
Dengan pendekatan yang tepat, peserta didik bukan hanya belajar, tetapi juga tumbuh menjadi pribadi yang lebih mandiri, percaya diri, dan mampu memahami dunia di sekelilingnya dengan cara mereka sendiri.


